Friday, September 9, 2016


Masa Rasulullah saw (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal sesungguhnya telah ada sejak masa Rasulullah SAW, yakni ketika kaum Muslimin mendapatkan ghanimah (rampasan perang) pada Perang Badar. Abdul Qadim Zallum menyebutkan dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (1983), saat itu para sahabat berselisih paham mengenai cara pembagian harta rampasan tersebut sehingga turun firman Allah SWT menjelaskan hal itu.

Ayat itu (QS. Al-Anfaal: 1) berbunyi, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul-Nya, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman'.”
Dengan ayat itu, Allah menjelaskan sebuah hukum tentang pembagian ghanimah, menetapkannya sebagai hak bagi seluruh Muslim, sekaligus memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangannya mengenai kemaslahatan kaum Muslimin.

Hal itu berarti pula bahwa ghanimah Perang Badar kala itu menjadi hak Baitul Mal, yang pengelolaannya dilakukan oleh waliyyul amri kaum Muslimin yang tak lain adalah Rasulullah SAW sendiri.

Dengan demikian, pada masa Rasulullah SAW, Baitul Mal mempunyai pengertian sebagai pihak yang menangani harta benda kaum Muslimin, baik pendapatan maupun pengeluaran. Karena belum melembaga, harta yang ada di Baitul Mal selalu habis seketika pada hari diperolehnya harta tersebut karena dibagikan ataupun dibelanjakan untuk urusan kaum Muslimin.

Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)

Keadaan seperti diuraikan di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW hingga tahun pertama kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq (11 H/632). Zallum menjelaskan, jika datang kepadanya harta dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islam yang dipimpinnya kala itu, Abu Bakar segera membawanya ke Masjid Nabawi dan membagikannya kepada orang-orang yang berhak. Dalam urusan itu, ia dibantu Abu Ubaidah bin Jarrah.

Pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Bukan lagi sekadar pihak pengelola harta umat, Baitul Mal juga berarti tempat penyimpanan harta negara. Sang khalifah menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal itu berlangsung hingga ia wafat pada 13 H/634 M.
Masa Khalifah Umar bin Khathab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat, seperti dikisahkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam (Abdul Aziz Dahlan, 1999), Umar bin Khathab yang meneruskan kepemimpinan khilafah mengumpulkan para bendaharawan untuk membuka Baitul Mal yang terdapat di dalam rumah Abu Bakar. Di sana Umar hanya menemukan satu dinar yang terjatuh dari kantung penyimpanan harta negara.

Lalu ketika penaklukan-penaklukan (futuhat) terhadap berbagai negeri semakin banyak terjadi pada masa Umar, termasuk penaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke Kota Madinah. Karenanya, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta. Ia juga membentuk sejumlah diwan (kantor)-nya, mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang.

Selama memerintah, Umar memelihara Baitul Mal secara hati-hati. Terkadang, selain menyimpannya di Baitul Mal, Umar menyisihkan seperlima dari harta rampasan perang untuk dibagikan secara langsung pada kaum Muslimin. Mengenai banyaknya. Ia hanya menerima pemasukan sesuai syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.

Kejujuran Umar dalam mengelola Baitul Mal dijelaskan dalam salah satu pidatonya yang dicatat penulis sejarah dan ahli tafsir bernama lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), tentang hak seorang khalifah dalam Baitul Mal.

Sang Khalifah berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seorang di antara orang-orang Quraisy biasa. Dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum Muslimin." (Dahlan, 1999).

Umar adalah khalifah Islam kedua yang membangun pondasi sistem ekonomi Islam. Umar mengambil sunah Rasul dan prinsip Qurani dan mempersatukan keduanya ke dalam sebuah program ekonomi yang berhasil. Pada masa kepemimpinan Umar, kesetaraan dapat dirasakan oleh setiap orang, termasuk dirinya sendiri. Sang Khalifah memilih kehidupan sederhana yang tidak membedakannya dari masyarakat umum. Di saat yang sama, ia memperjuangkan keadilan, termasuk di bidang ekonomi melalui pengelolaan Baitul Mal.

Di masa kekhalifahan Umar, ketika seseorang terluka atau kehilangan kemampuannya sehingga tidak dapat bekerja, maka negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasarnya. Khilafah Umar juga memberikan 'keamanan sosial' bagi orang lanjut usia. Mereka yang telah berhenti bekerja bisa tetap memperoleh upah tetap dari kas publik.
Bahkan, bayi-bayi yang dicampakkan orang tua mereka dipelihara negara, dan menghabiskan 100 dirham uang negara setiap tahunnya. Saat kekhalifahan dilanda kekeringan hebat pada 18 H, Umar memberlakukan kupon makanan bagi masyarakat yang dapat ditukar dengan gandum dan tepung.
Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan (23-35 H/644-656 M)
Keberadaan Baitul Mal berlaku sama pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dari keluarganya, tindakan Utsman dalam pengelolaan Baitul Mal banyak menuai protes dari umat.

Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az-Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis.

Ibnu Syihab menyatakan, “Utsman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir masa pemerintahannya. Ia memberikan seperlima ghanimah dari penghasilan Mesir kepada Marwan (yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah), serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya. Dan ia (Utsman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahim yang diperintahkan Allah SWT."

Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, "Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambil dan membagikannya kepada sanak kerabatku." Itulah sebab rakyat memprotesnya.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kondisi Baitul Mal dikembalikan seperti posisinya sebelum masa Utsman bin Affan. Ali, seperti disebutkan lbnu Kasir, juga mendapat santunan dari Baitul Mal. Ia mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh kakinya. Bahkan, seringkali bajunya dipenuhi tambalan.

Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang di sekitar Ali menyarankannya agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya.

Tujuannya, untuk mempertahankan diri Ali dan kaum Muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkanku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”
Posted by Master Teknik Indonesia on 11:28:00 PM in    No comments »

0 comments:

Post a Comment

Share

Facebook Twitter

Search